Jumat, 10 Februari 2012

Arti dari Rabbani

Oleh: Drs.H.Dedeng Rosidin.Mag
Kiita diperintah Allah SWT untuk menjadi Insan Rabbani’. Hal ini tertuang dalam firman Allah, Ali Imran ; 79 كونوا ربّانيّين artinya jadilah kamu (Insan-insan) Rabbani..
1. Pengertian bahasa
1). Insan
Kata إنسان ialah bentuk mufrad / untuk tunggal, sama dengan katab إنس bentuk jamaknya: الناس seperti dalam An-Nas; ayat 1, أناس dalam al-Baqarah, 60, إنسيّا dalam surat Maryam; 26 dan أناسيّ dalam surat al-Furqan, 49. Kata إنسان digolongkan kepada jenis laki-laki / mudzakar, dan kadang digolongkan kepada jenis perempuan / muannast yang menunjukan pada arti ‘ taifah’ / kelompok masyarakat’

Kata Insan Menurut Ibn Madzur ( VII:306 – 314) dalam Lisan al-‘Arab dapat diambil dari tiga akar kata. Yaitu ; أنس /Anasa , أنس / Anisa dan نسي / nasia.
Pertama: Kata أنس / Anasa, artinya أبصر / ‘abshara, علم / ‘alima, إستأذن /istadzana. Kata ابصر artinya, melihat, bernalar, berfikir. Dengan itu dia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihat Kata علم artinya ‘mengetahui, berulmu, dengan ilmunya manusia bisa membedakan antara yang benar dan salah. إستأذن artinya , meminta izin, Ia makhluk beradab, terdorong untuk meminta iziz melakukan sesuatu yang bukan miliknya Dari kata ini, Insan itu makhluk yang mempunyai daya nalar, berilmu dan beradab
Kedua, أنس / ِِ anisa artinya ألفه و سكن قلبه به / alifaiu wa sakana qlbuhu bihi, artinya ; ‘ jinak’ ramah , Sebalik dari توخش / tawakhasya artinya buas. (Luwes Ma’luf : 18).. Dalam Alquran kata الإنس selalu dihubungkan dengann kata الجن , ini menunjukan lawan kata al-Insu = jinak adalah al-jinnu = buas. Kata حيوان أنيس , binatang yang betah tinggal bersama manusia., مكان أنيس temapat yang membuat betah ditempati. Orang أنيس , oarng yang أليف yang ramah dalam pergaulan.. Menurut Al-Raghib ( 24 +530) disebut demikian karena لمن كثر أنسه yaitu karena ‘banyak keramahannya’, dan juga menurut Al-Raghib, لا قوام له إلا بإنس بعضهم ببعض bahwa ia tidak dapat tegak hidup kecuali dengan bersahabat dengan ramah antara satu dengan yang lainnya. Maka dari kata ini, manusia itu makhluk yang bersahabat, ramah dalam pergaulan.
Ketiga, نسي / nasia, ialah ضدّ تذكّر / dliddu tadzakkara, , yaitu ‘lupa’ (al-munawwir: (1514), Ibnu Mandzur menyebutkan, Ada riwayat Ibn Abbas, yaitu :
إنما سمي الإنسان إنسانا لأنه عهد على نفسه فنسي . (ابن المنذور: لسان العرب )
Ini berkaitan dengan kesadaran diri, manusia lupa, manusia yang hilang kesadaran, karena itu hilang baginya kewajiban terhadap Tuhannya. Dari sini insan itu makhluk yang punya sifat lupa. .
Jika kita ambil makna الإنسان dilihat dari sisi bahasa ( akar kata ), artinya
Makhluk yang mempunyai daya nalar, daya fikir yang dengannya dapat maju dan berkembang, Ia berilmu, yang dengan ilmunya dapat membedakan antara benar dan salah. Ia beradab, yang tidak suka merampas, mengambil haq orang lain tanpa izin. Ia ramah dalam pergaluan, bersahabat, yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan lingkungan. Ia kadang lupa, yang tidak selalu ada dalam kebenaran.
Dilihat dari apa yang dijelaskan di atas, maka kata إنسان itu berkaitan dengan sikaf / prilaku, yang ada pada manusia. Karena itu kata إنسانيّة insaniyyah, menurut Raghib (530), وجود الفضل و الذكر و سائر الأخلاق الحميدية
Yaitu, adanya keutamaan, kebaikan dan akhlak yang terpuji.
2) Basyar
Kata lain yang suka diartikan manusia selain إنسان ialah kata بشر , kata ini digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Baik menunjukan makna satu atau banyak.
Luwes Ma’luuf ( 1927:36) menjelaskan, arti asal dari kata بشر ialah tempat tumbuhnya rambut, pada permukaan kulit kepala, wajah dan tubuh. Kata مباشرة diartikan ملامسة yaitu persentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan, yang selanjutnya diartikan ‘ الجماع = bersetubuh.
Kata بشر menunjukan adanya persamaan umum yang menjadi ciri pokok manusia, Firman Allah : إن نحن إلا بشر مثلكم. ابراهيم: 11yaitu: 1) berasal dari tanahإني خالق بشرا من طين . ص : 71 2). Suka makan, minum, هذا إلا بشر مثلكم يأكل مما تأكلون منه . المؤمنون : 33 . 3). Dan manusia itu akan mati, و ما جعلنا لبشر من قبلك الخلد. الأنبياء : 34 Basyariah, ialah menunjukan adanya persamaan derajat kemanusia yang dibuat dari tanah, kembali kedalam tanah / mati, dan suka makan dan minum.
Maka dari itu perbedaan istilah إنسانية dan بشرية bahwa insaniyyah menunjukan akan adanya sikaf dan prilaku yang terpuji, yang ada pada manusia, sedangkan Basyariyyah, menunjukan bahwa manusia itu mempunyai ciri poko umum yang sama./ derajat yang sama.
3) Rabbani
Kata ربّاني jamaknya ربانيّون / ربّانيّين . Kata ini menurut Abu Ubaied dalam Ibnu Al-Jauzi ( I: 413), bukan dari bahasa Arab tapi bahasa ‘Ibraniyyah atau Siryaniyyah, Karena menurutnya Bangsa Arab tidak mengetahui kata Rabbani , Mereka hanya tahu الفقهاء و أهل العلم , / orang faqih dan ahli ilmu.
Ibnu al-Anbari dalam Ibnu al-Jauzi ( I: 413) menyebutkan pendapatnya menurut Ahli Bahasa, bahwa kata Rabbani itu asalnya dari kata الربّ , kemudian dimasuki huruf Alif dan Enun ( ان ) untuk menunjukan makna mubalaghah, yaitu berlebih / superlatif.. Sama seperti kata لحية = jenggot, menjadi لحياني yang berjenggot tebal. Kata شعر = rambut, menjadi شعراني = orang yang berrambut tebal. Maka kata rabbani artinya ‘ orang yang ma’rifah kepada Allah, berpegang tegung pada agama Allah dan selalutaat padanya.’
Di dalam Fath al-Baari ( I: 162 ) disebutkan kata ربّاني dinisbatkan pula pada kata التربيّة / pendidikan . Maka Rabbani, berarti orang yang suka mendidik dan memeri makan orang lain dengan ilmu pengetahuan atau مربّي . Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Ibnu’Arabi dalam Fath al-Bari ( I: 162) yang menyebutkan لا يقال للعالم ربّاني حتى يكون عالما معلّما عاملا seseorang tidak dikatakan rabbani sehingga ia berilmu, dengan ilmunya itu ia ajarkan kepada orang lain dan ia pun mengamalkan dari ilmu yang ia ketahui.
Maka arti dari ‘ Insan Rabbani’ secara bahasa, ialah orang yang memiliki daya nalar dan daya fikir, beradab, bersahabat serta ramah dalam pergaulan, ma’rifah kepada Allah, berpegang kepada agama Allah dan selalu taat kepada-NYA, suka mendidik manusia, berilmu, mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya.
2. Rabbani dalam Alquran
Di dalam Alquran kata ربّاني disebut dalam tiga ayat, dua kali dalam bentuk rafa, yaitu dalam al-Maidah : 44 , dan 63, dan satu kali dalam bentuk nashab, yaitu dalam Ali Imran: 79.
Pertama. Dalam al-Maidah : 44, dijelaskan Allah tentang Rabbani Bani Israel yang shalih, mereka menghukumi orang-orang Yahudi dengan Kitab Allah yaitu Taurah di saat tidak ada nabi pada mereka. Dan Rabbani itu diperintanh Allah untuk menjaga kemurnian kitab, dan mereka menjadi saksi atas kebenaran al-kitab itu. Hal ini seperti Abdullah bin Salam.( Al-Maraghi: II: Zuj , 6 124)
إنا أنزلنا التوراة فيها هدى و نور يحكم بها النبيّون الّذين أسلموا للذين هادوا و الربّانيّون و الأحبار بما استُحفظوا من كتاب الله و كانوا عليه شهداء. المائدة : 44
Secara tekstual dari ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa Rabbani itu antara lain ialah orang yang bersaksi atas kebenaran kitab Allah, menjalankan isinya, serta menjaga keutuhannya.
Kedua. Dalam Al-Maidah : 63, dijelaskan Allah tentang Rabbani itu , yaitu berkaitan dengan teguran Allah terhadap orang Rabbani dari bangsa Yahudi, yaitu pemimpin mereka dalam tarbiyyah dan siasah, juga Ulama al-Dien / ulama ahli agama, yang membiarkan orang-orang Yahudi berbuat dosa, permusuhan dan makan yang haram. Seharusnya mereka rabbani itu melakukan Amar ma’ruf nahhi munkar , sehingga mereka itu tidak berbuat demikian ( Al-Maraghi : II :Zuj 6 :,150 )
لو لا ينهاهم الربّانيّون و الأحبار عن قولهم الإثم و أكلهم السحت لبئس ما كانوا يصنعون
Dari ayat ini, secara tekstual dapat diambil pemehaman, yaitu rabbani yang dikehendaki Allah ialah orang yang berbuat Amar ma’ruf nahyu munkar, yang peduli terhadap lingkungannya.
Sosok rabbani , yang suka melakukan Amar ma’ruf Nahyu Munkar, sangat diperlukan dalam jaman manapun, sekarang atau yang akan datang. Nabi bersabda :D imana pada suatu masa akan muncul; perempuan suka membantah, para pemuda cendrung pada kejelekan, dan orang meninggalkan perjuangannya / jihad. Sahabat bertanya ; apakah hal itu akan terjadi. Sabda nabi, yang lebih dari itu akan terjadi, yaitu ‘ orang meninggalkan amar ma’ruf nahyu munkar’, Sahabat pun bertanya lagi seperti pertanyaan pertama. Nabi menjelaskan , yang lebih dari itu juga akan terjadi , yaitu ‘ orang memandang dengan pemandangan yang salah, mereka melihat ma’ruf di pandang munkar, dan munkar dipandang ma’ruf. Sahabat bertanya lagi seperti pertanyan semula, dan nabi menjelaskan lagi, yang lebih dahsyat dari itu akan terjadi, yaitu ‘ orang berbalik perbuatannya menyuruh kepada yang munkar dan melarang kepada yang ma’ruf. Dan setelah itu akan terjadi fitnah. Dan orang yang tahan uji menjadi bingung.Ini diungkapkan dalam hadits riwayat Abi Dunya, dan Abi Ya’la, yaitu:
قال رسول الله صلعم كيف أنتم إذا طغت نساءكم و فسق شبّانكم و تركتم جهادكم ؟ قالوا و ان ذاك لكائن ؟ قال : نعم, و الّذي نفسي بيده و أشدّ منه سيكون. قالوا : و ما أشدّ منه يارسول الله ؟ قال: كيف أنتم إذا تركتم الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر, قالوا و كائن ذالك ؟ قال : نعم و الّذي نفسي بيده و أشدّ منه سيكون , قالوا و ما اشدّ منه يا رسول الله ؟ كيف انتم إذا رايتم المعروف منكرا و المنكر معروفا , قالوا و كائن ذلك ؟ قال : نعم و الّذي نفسي بيده و أشدّ منه سيكون, قالوا و ما أشدّ منه ؟ قال: كيف أنتم إذا أمرتم بالمنكر و نهيتم عن المعروف, قالوا و كائن ذلك بارَ ؟ قال: نعم و الّذي نفسي بيده و أشدّ منه سبكون, يقول الله تعالي بي حلفتُ لأتيحنّ لهم فتنةً يصير الحليمُ حيران. ( أبي الدنيا , أبي يعلي عن أبي أمامة الباهلي)
Ketiga. Kata rabbani berikutnya (dalam bentuk nashab) terdapat dalam Ali Imran: 79. Yang menjelaskan bahwa tidak ada seseorang yang diberi Allah al-Kitab, Hikmat ( pemahaman dan pengetahuan tentang Kitab dan rahasianya) serta Kenabian, yang menyuruh ummatnya untuk menyembah dirinya, menjadikan sebagai sembahan. Tapi para nabi itu menyuruh mereka untuk menjadi Rabbani, hal ini karena mereka telah mengajarkan Al-Kitab pada orang lain dan telah membaca serta mempelajarinya sendiri. Sebagaimana firmannya
ما كان لبشر ان يؤتيه الله الكتاب و الحكم و النبوّة ثمّ يقول للناس كونوا عبادا لي من دون الله و لكن كونوا ربّانيّين بما كنتم تعلّمون الكتاب و بما كنتم تدرسون. )آل عمران: 79 (
Sekaitan dengan hal di atas al-Maraghi ( I: 195) menjelaskan ربّاني itu mereka senantiasa mengetahui, mentaati dan sekaligus mengamalkan semua perintah Allah. Dan untuk menjadi Rabbani wasilahnya ialah دراسة الكتاب mempelajari Kitab, dan تعليم الكتاب mengajarkan Kitab serta mempraktekannya dalam kehidupan sehari –hari, dengan cara itu orang akan sampai pada rabbani.
Dan Al-Thabari ( III, 324) antara lain menjelaskan, Rabbani itu orang yang senantiasa memberi santapan (pelajaran) kepada manusia dengan bijaksana serta mendidiknya. Dan Ia pun menyebutkan pendapat Ibnu Qutaibah, ربّاني orang berilmu yang disibukan dengan mengajar.
Di dalam sebuah hadits Nabi disebutkan :
و قال النبي ص : من يرد الله به خيرا يفقّهه و إنما العلم بالتعلّم. و قال ابن عباس : كونوا ربّانيّين حلماء فقهاء . و يقال : الربّاني الّذي يربّي الناس بصغار العلم قبل كباره. أخرجه ابن أبي عاصم ( فتح الباري : 1 , 126
Nabi bersabda, siapa yang dikehendaki Allak pada kebaikan, Ia menjadikannya Faqih ( faham), dan hanyalah ilmu itu (diperoleh) dengan belajar. Ibnu Abbas berkata, jadilah kamu orang Rabbani yang sabar murah hati dan yang faqih. Dan dikatakan Rabbani itu yang suka mendidik manusia mulai dari yang kecil lalu pada yang besar. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim. ( Fath al-Bari : I,162 )
Secara konteks hadits di atas berkenaan dengan perintah menjadi Insan rabbani, Insan rabbani di sini ialah orang yang mendidik manusia, memberi santapan pada mereka dengan ilmu pengetahuan , mulai dari masalah yang kecil / mudah difahami kemudian berpindah kepada masalah yang besar yang sulit dipahami.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan Rabbani dalam Ali Imran 79, antara lain dimaksudkan, orang yang membaca, mempelajari Kitab dengan memahami isi dan kandungannya ( دراسة الكتاب ), kemudian mengamalkan, serta mengajarkannya kepada manusia ( تعليم الكتاب ) dengan metoda induktif / mulai dari yang kecil kemudian pada yang besar, selanjutnya Ia menjadi أهل التربيّة / مربّي pendidik.
Tersirat dalam ayat di atas, kita diperintah menjadi insan Rabbani, artinya diperintah untuk menyiapkan generasi pelanjut yang selalu belajar, haus ilmu pengetahuan, hingga Ia menjadi pengajar / معلّم yang selanjutnya menjadi pendidik / مربّي .
Dari ketiga ayat di atas secara konteks dapat dikatakan Insan Rabbani itu ialah orang yang bersaksi atas kebenaran kitab Allah, menjalankan serta menjaga keutuhannya, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, selalu mempelajari isi serta kandungan kitab, lalu mengajarkannya pada yang lain, serta menddiknya.
3. Rabbani dalam pandangan Mufassir
Para mufassir memberi penjelasan yang tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lain dalam arti Rabbani. Antara satu pendapat dengan yang lainnya dapat dijadikan sebagai penambah jelas terhadap apa yang dimaksud dengan Rabbani. Pendapat-pendapat tersebut antara lain :
1) At-Thabari (IV : 249 ) menyebutkan, Rabbani ialah orang yang berpengetahuan, arif bijaksana, pandai mengatur urusan manusia dan melakukan kebajikan. العلماء الحكماء البصراء بسياسة الناس و تدبير امورهم و القيام بمصالحهم Dan pada bagian lain At-Thabari ( III : 324 ) menjelaskan, mereka para pemimpin dalam ma’rifah kepada Allah, melaksanakan perintah serta menjauhi larangannya, dan pemimpin dalam ta’at serta ibadah kepadanya karena mereka lah yang mengajar al-Kitab serta mempelajarinya, sehingga mereka itu menjadi ahli tarbiyyah.
رؤساء في المعرفة بأمر الله و نهيه و أئمّة في طاعته و عبادته بكونهم معلّمي الناس الكتاب و بكونهم دارسيه أنهم صاروا أهل التربيه
2) Ibnu Al-Jauzi ( II: 364) menyebutkan, mereka itu orang Fakih, ahli ilmu, para pemimpin. الفقهاء العلماء الولاة
Dalam bagian lain Ibnu Al-Jauzi ( I : 413 ) ialah mereka yang suka memberi santapan kepada manusia dengan ilmu / hikmah, serta mendidiknya.
هم الّذين يغذّون الناس بالحكمة و يربّونهم عليها
3) Muhammad Mahnud Hijazi ( I ; 246 ) menyebutkan, Rabbani itu yang berpegang teguh pada agama Allah serta taat kepadanya dengan sebenar-benarnya, mereka mengajarkan al-kitab pada orang lain serta mengkaji dan mempelajarinya
متمسكين بالدين مطيعين لله أتمّ طاعة بسبب كونهم يعلّمون الكتاب و يدرسونه و يتعلّمونه
4) Al-Maraghi ( I:195 ) menyebutkan, mereka itu orang berilmu mengenal Allah, dan selalu taan kepadanya عالم به مواظب على طاعته
Dan pada bagian lain Al-Maraghi ( II : 15 ) mengatakan, yaitu mereka para pemimpin pendidikan dan politik serta ulama dalam agama
أئمّتهم في التربيّة و السياسة و علماء الدين
Dengan memperhatikan pendapat dari para mufassir di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa rabbani itu orang yang berma’rifah / bertauhid kepada Allah, berpegang teguh pada agama, selalu taat kepada Allah, faqih, ‘alim, arif bijaksana, selalu mengkaji ilmu / kitab, mengajarkan ilmu, mendidik manusia dan melalukan amar ma’ruf nahi munkar.
Dan jika diambil kesimpulan dari pengertian Insan dan Rabbani dilihat dari sisi bahasa, makna konteks ayat serta penafsiran dari para mufassira, antara lain dapat dikatakan Insan Rabbani itu adalah orang yang berma’rifah kepada Allah serta selalu taat beribadah, berpegang pada agama, bersaksi atas kebenaran al-kitab, menjaga keutuhannya, selalu menggali ilmu pengetahuan dengan mengkajinya lalu mengajarkan serta mendidik orang lain, melakukan amar ma’ruf nahyi munkar, menggunakan daya nalar dan daya fikir, berilmu pengetahuan, beradab, ramah terhadap lingkungan, dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan, dengan menyedari akan dirinya sebagai makhluk Allah yang tidak selalu benar, mempunyai sifat pelupa.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran al-Karim
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaad Alquran al-karim, Daar al-ma’rifah, Baerut, Lubnan, 1992
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaadz Alquran, Baerut, Daar al-Fikr
Ibnu Manzhur, Lisan al-arabi, Baerut, Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, 1988
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta, Pesantren al-Munawwir, 1984
Luwes Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, Baerut al-Katulikiyah, 1928
Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 1, 2, Baerut Daar al-Fikr, 1971
Abdurrahman bin al-Jauzi, Tafsir Ibnu al-Jauzi, 1,2 Al-Maktab al-Islami, Baerut, 1965
Muhammad Mahmud Hijazi, Al-Tafsir al-Wadhih, 1, Daar al-Jael, Baerut, 1992
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Astqalani, Faat al-baari bi sayrh shahih al-Bukhari,1,
Baerut Daar al-Ma’rifah, tt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar